Poscomedia – Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu (8/5) pagi melemah 44 poin atau 0,27 persen menjadi Rp16.090 per dolar Amerika Serikat (AS) dari penutupan perdagangan sebelumnya sebesar Rp16.046 per dolar AS.
Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menyatakan nilai tukar rupiah berpotensi masih mengalami tekanan pasca pengumuman rapat moneter Federal Reserve (The Fed).
“Potensi pelemahan hari ini ke arah Rp16.100 dengan potensi support di sekitar Rp16.000,” katanya di Jakarta, Rabu (8/5).
Seperti diketahui, pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) mencatatkan dua poin penting. Pertama, The Fed tak mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan AS tahun ini. Artinya, tidak adanya kenaikan memberikan kelegaan ke pasar dan bisa memberikan sentimen positif ke aset berisiko.
Kedua, The Fed memutuskan penundaan pemangkasan suku bunga AS karena belum yakin inflasi AS akan menurun ke 2 persen. Indikasi penundaan pemangkasan suku bunga memberikan kekhawatiran di pasar bahwa The Fed bisa tak mengeluarkan keputusan tersebut pada tahun ini.
Kendati ada pelonggaran quantitative tightening (QT) yang membuat imbal hasil obligasi AS menurun, tetapi sikap The Fed dinilai masih menunjukkan ketidakpastian, sehingga berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah.
QT merupakan kebijakan moneter yang dilakukan The Fed untuk memperkecil neraca dengan menyusutkan cadangan moneter guna menghilangkan likuiditas atau uang dari pasar keuangan guna menghindari dari terjadinya inflasi. Hal ini dilakukan dengan cara menjual obligasi yang dimiliki bank sentral kepada publik.
“Sikap The Fed masih menunjukkan ketidakpastian. Kalau The Fed masih bingung, (nilai tukar) dolar bakal bolak balik (naik turun),” ungkap Ariston.
Pada hari ini, potensi pelemahan kurs rupiah juga terlihat dari rebound indeks dolar AS menjadi 105,50 yang sebelumnya tertekan ke area 105,05.
“Penguatan dolar AS ini bisa karena sikap The Fed yang masih akan menunda pemangkasan suku bunga acuannya, menunggu data inflasi AS benar-benar turun, dan pasar menantikan data ekonomi baru AS untuk memastikan hal ini,” ujar dia.
Pada Jumat (10/5) malam, data sentimen konsumen AS akan dirilis dan data inflasi AS pada pekan depan.
“Selain itu, konflik di Timur Tengah dimana Israel menyerang area baru di Gaza (Palestina) mungkin memicu kekhawatiran pelaku pasar, sehingga sebagian pelaku pasar mencari aman di dolar AS,” ucapnya. (ntr/bua)